Lingkungan sekolah yang
positif dapat membuat warga sekolah merasa aman dan nyaman berada di sekolah.
Keaadan demikian mestinya dapat memunculkan nilai-nilai positif dari warga
sekolah. Modul 1.3 mempelajari mengenai INKUIRI APRESIATIF (IA). IA merupakan
pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan
(positif). Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang
dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Dengan demikian, budaya positif
di sekolah akan mendukung tercapainya visi sekolah. Visi yang sesuai dengan
filosofi pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara yaitu untuk berpihak kepada
murid, memerdekakan murid, mendorong terciptanya merdeka belajar, dan membentuk
profil pelajar pancasila.
Untuk menciptakan lingkungan
sekolah yang positif, perlu adanya budaya positif. Budaya positif dapat
dilakukan dengan adanya penerapan disiplin positif. Diane Gossen dalam bukunya
Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia yaitu:
untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, mendapatkan imbalan atau
penghargaan, dan menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri
dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Tujuan adanya disiplin positif yaitu membangun siswa memiliki motivasi
yang ketiga, yaitu motivasi intrinsik. Guru dapat mengambil peran mewujudkan
kepemimpinan murid, dengan cara murid sanggup memimpin dirinya sendiri.
Pendidik perlu menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga
mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan
memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Nilai-nilai kebajikan itu sesuai
dengan profil pelajar pancasila yaitu: Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebhinekaan Global,
Bergotongroyong, dan kreatif. Untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila ini
guru dapat menerapkan pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui pembelajaran,
kolaborasi, menggerakkan komunitas dan lainnya sehingga munculnya budaya
positif di sekolah.
Dalam penerapan budaya
positif, guru perlu mengambil peran untuk melakukan restitusi, daripada memberi
hukuman atau konsekuensi. Restitusi mendorong terciptanya disiplin positif pada
siswa. Siswa menyelesaikan permasalahannya sendiri sehingga menimbulkan
motivasi intrinsik. Gossen menyatakan bahwa restitusi mengembalikan anak kepada
kelompoknya dengan karakter yang lebih kuat.
Dalam melakukan restitusi,
guru dapat melakukan 5 posisi kontrol yaitu: pemberi hukuman, pembuat rasa bersalah,
teman, pemantau dan manajer. Diantara kelima posisi tersebut, guru diharapkan
mengambil posisi manajer. Posisi manajer adalah posisi dimana guru berbuat
sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan
perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya
sendiri. Manajer tidak mengatur perilaku seseorang, namun membimbing siswa
mengatur dirinya sendiri. Posisi manajer sesuai dengan visi guru penggerak yang
sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yaitu untuk menuntun segala
kekuatan kodrat anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya demi terciptanya student wellbeing. Peran manajer juga
memunculkan nilai-nilai guru seperti kemandirian, inovasi, kolaborasi,
kreativitas, dan berpihak pada siswa. Guru dengan kualitas manajerial berarti
dapat menerapkan nilai-nilai dan peran guru yang baik di kelas, sekolah, dan
masyarakat.
Proses restitusi dapat
dilakukan dengan segitiga restitusi yaitu: menstabilkan identitas, validasi
tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Keyakinan yang dimaksud adalah
keyakinan kelas. Guru dan siswa menyusun dan menyepakati keyakinan kelas. Guru
memainkan peran pendorong kolaborasi untuk menyusunnya. Keyakinan kelas
dibentuk dengan kesepakatan bersaman anggota kelas yang di dasarkan atas
nilai-nilai Kebajikan universal dan menekankan pada keyakinan diri sesrta
memotivasi dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk
menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan tertulis tanpa makna.
Dalam mewujudkan budaya
positif di sekolah, tentu saja tidak dapat dilakukan seorang diri. Pelu ada
keterlibatan seluruh anggota sekolah. Untuk itu peran guru untuk menggerakkan
komunitas praktisi, pendorong kolaborasi, serta coach bagi guru lain dapat
mewujudkannya.
Refleksi
Faktor utama untuk
terciptanya budaya positif adalah disiplin positif. Disiplin berasal dari
bahasa latin “disciplina” yang artinya belajar. Belajar dapat berarti mengalami
perubahan. Dalam disiplin positif, motivasi perubahannya muncul dari dirinya
sendiri. Orang lain dapat memberikan stimulus-respon, namun sejatinya yang
memiliki kontrol/kuasa adalah diri sendiri. Motivasi yang benar bukan
dikarenakan menghindari rasa tidak nyaman (hukuman) atau untuk menerima imbalan
(penghargaan) dari orang lain. Motivasi yang memunculkan disiplin positif adalah motivasi untuk menjadi orang
yang diinginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini
(motivasi intrinsik). Motivasi karena hukuman dan penghargaan bersifat
eksternal dan dapat mengganggu proses pendidikan siswa. Hukuman dapat membuat siswa menjadi tidak
nyaman dan takut, sementara penghargaan hanya memunculkan motivasi yang
bersifat sementara. Hal yang menarik ketika mempelajari materi ini adalah
mengenai penghargaan. Saya perlu lebih bijaksana dalam menggunakan penghargaan
berupa poin keaktifan kepada siswa di kelas.
Ada 5 posisi kontrol guru
yang dipelajari yaitu pemberi hukuman, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau
dan manajer. Untuk menerapkan disiplin positif, guru perlu menerapkan peran
manajer. Peran manajer mengingatkan siswa pada keyakinan kelas yang telah
disepakati bersama. Proses pembentukan keyakinan kelas dilakukan oleh siswa
dibimbing oleh guru. Keyakinan kelas dapat ditempelkan di ruang kelas sebagai
pengingat bersama.Saat saya merefleksikan diri saya sendiri, sejauh ini saya
masih cenderung pada level teman atau pemantau. Saya perlu berlatih dan
berusaha untuk belajar menerapkan peran manajer.
Masalah yang terjadi pada
siswa, dapat disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Kebutuhan
dasar manusia yaitu: yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih
sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan
(fun), dan penguasaan (power). Dengan memahami kebutuhan dasar yang dibutuhkan
siswa ketika masalah terjadi, penanganan terhadap suatu kasus akan menjadi
lebih maksimal dan bermakna. Dalam penanganan siswa, guru sebaiknya menghindari
tindakan hukuman atau konsekuensi. Guru dapat mengambil langkah restitusi.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki
kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan
karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi bukan untuk menebus
kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan. Restitusi memperbaiki hubungan.
Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan. Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke
dalam diri. Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan.
Restitusi diri adalah cara yang paling baik. Restitusi fokus pada karakter
bukan tindakan. Restitusi menguatkan. Restitusi fokus pada solusi. Restitusi
mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya. Restitusi diterapkan
melalui 3 langkah segitiga restitusi yaitu: menstabilkan identitas, validasi
tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan
Perubahan
Setelah mempelajari modul
ini saya belajar untuk memunculkan motivasi intrinsik siswa ketika saya
mengajar di kelas. Dulu saya sering memberikan penghargaa berupa poin keaktifan
ketika meminta siswa menjawab soal. Kali ini saya mencoba memberi pengertian
hal yang didapat siswa ketika mau menjawab pertanyaan saya, sehingga motivasi
mereka menjawab bukan lagi poin, namun dikarenakan siswa yang mendapatkan
pengalaman belajar dan percaya diri.
Perubahan berikutnya adalah
dalam penanganan masalah siswa. Saya belajar untuk membimbing siswa menemukan
solusi atas permasalahan mereka sendiri. Saya sering bertanya ”jadi apa yang
akan kamu lakukan supaya …”
Pengalaman, Perasaan, dan Hal
yang Perlu Diperbaiki
Pengalaman yang saya alami
yaitu ketika menerapkan proses segitiga restitusi. Narasi yang saya tuliskan
dalam tugas video praktik segitiga restitusi tersebut, memang benar-benar
masalah yang terjadi dan saya tangani. Ketika melakukan hal tersebut, ada rasa
senang yang saya rasakan, karena dapat membimbing siswa untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri. Jika semua siswa dapat belajar untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri, maka dia sedang belajar untuk bertanggungjawab terhadap
hidupnya. Saya perlu belajar untuk lebih luwes dalam menerapkan posisi sebagai
manajer.
Pengalaman lain yang saya
alami adalah saat saya tidak lagi memberikan penghargaan berupa poin keaktifan,
siswa cenderung tidak banyak yang bertanya. Saya menyadari bahwa cara yang saya
lakukan dalam memberikan penghargaan tersebut kurang tepat, karena motivasi
yang muncul adalah motivasi eksternal. Saat awal saya mencoba memberi pemahaman
dengan memunculkan motivasi intrinsik, ada sebagian siswa yang mulai menjawab
pertanyaan yang saya sampaikan. Saya berharap mereka dapat terus memiliki
motivasi intrinsik untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Sebelum dan sesudah (posisi
kontrol dan segitiga restitusi)
Sebelum mempelajari modul
ini saya cenderung dalam posisi kontrol teman. Perasaan saya saat itu adalah
ingin menjadi teman bagi siswa dan menerapkan kasih kepadanya. Saya berpikir
dengan menjadi teman, saya dapat lebih memahami mereka. Namun, hal itu justru
tidak tepat. Posisi teman akan membuat siswa memiliki ketergantungan kepada
saya dan tidak mandiri. Setelah belajar modul ini, saya mempraktikkan untuk
menjadi manajer. Saya lebih sering meminta siswa memikirkan cara untuk
menyelesaikan permasalahannya.
Sebelum mempelajari modul
ini, secara tidak langsung sebenarnya saya sudah menerapkannya yaitu pada tahap
menstabilkan emosi dan validasi masalah. Hanya saja pada tahap akhir, saya
cenderung pemberi solusi. Ketika ada masalah yang terjadi saya biasanya
memanggil siswa tersebut secara pribadi untuk saya ajak bicara dan menggali
masalah yang dia alami. Setelah belajar modul ini saya berusaha menerapkan langkah
terakhir yaitu menanyakan keyakinan kelas dan memunculkan motivasi intrinsik.
Hal lain yang perlu
dipelajari adalah perlu adanya kolaborasi dalam menciptakan budaya positif di
sekolah, karena budaya positif ini tidak dapat dilakukan sendirian. Budaya
positif dapat dilakukan oleh warga sekolah yang positif pikirannya, positif
perkataannya, dan positif tindakannya.